Banyak hal yang menarik untuk dibicarakan tentang pengalaman cutiku kali ini. Ya.. mungkin ini cuma pendapat super narsisku. Tapi bukankah lebih baik kalau kita merasa tertarik dengan kehidupan kita sendiri atau kamu termasuk orang yang lebih tertarik dengan dunia orang lain...? Dalam hati saya bertanya tradisi, globalisasi dan "?"
Tradisi dan Globalisasi
"Mas An bantuan Dhea ngerjain PR", ucap sepupu kecilku sambil membawa buku bertuliskan "Basa Jawa".
Ku ambil bukunya dan ku baca soal-soalnya. Tentang aksara jawa...ohhhh teidakkkkk aku sudah lupa dengan pelajaran ini. Maklum aku dapat pelajaran bahasa jawa cuma sampai SMP <sebetulnya ini tidak menjadi alasan karena aku lahir, dibesarkan dan keturunan jawa tulen>. Harusnya aku bisa membaca tulisan leluhurku sendiri.
Dalam hati aku bergumam mending ditanya soal bahasa Inggris daripada soal kayak gini. Bagaimana budaya bangsa bisa maju kalau pemudanya kayak aku ini. Seorang pemuda yang lupa akan tradisi karena tergilas oleh istilah globalisasi.
Tuntutan pekerjaan mengharuskan aku untuk berbahasa Indonesia dan Inggris. Ini memang sangat penting karena dua bahasa inilah yang menjadi alat komunikasi dari beragam etnik di perusahaan tempatku bekerja. Tentunya bukan sebuah pembenaran bahwa aku boleh lupa tentang budaya nenek moyang sendiri <kakek moyangku orang mana ya aku lupa????>
Sebagian orang mungkin, sekali lagi mungkin memiliki nasib serupa denganku. Banyak yang lebih kenal dan ngefans dengan Justin Beiber daripada Ki Manteb Sudarsono. Atau mending ngeband daripada harus berkutat dengan musik gamelan. Seiring dengan bertambah majunya jaman semakin terbuai juga kita dengan segala kemudahan padahal dibalik cara tradisional ada sisi sensasional.
Mau bukti? Ibuku pernah mencoba sebuah penelitian tentang enak mana sambal yang diuleg pakai cobek dari batu atau digiling menggunakan blender. Tara.... ternyata benar kata ibuku sambal dengan ulekan konvensional mengalahkan gerusan blender yang kontemporer. Percaya atau tidak buktikan sendiri.
Antara globalisasi dan tradisi aku memilih kombinasi.
"?"
Kemaren iseng-iseng aku ke bioskop tanpa sebuah perencanaan dan teman. Terpampang beberapa poster di dinding depan 21. Ada beberapa judul yang sedang tayang dan akan tayang. Ada yang erotis ada juga yang pluralis.
"?" menjadi pilihanku siang itu. Sebuah film arahan Hanung Bramantyo. Menurut beberapa berita yang kubaca film ini memiliki pesan yang bagus tentang arti menghargai, pluralisme dan toleransi. Meskipun beberapa pendapat miring juga melayang begitu saja dari beberapa pihak tentang film ini. Pro kontra sudah menjadi hal yang biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar